Ruangan ini kini penuh dengan deraian air mata. Yang entah
tulus atau tidak mengalir dari pelupuk matanya. Orang-orang ini terlihat begitu
meyakinkan saat meneteskan air matanya. Berbeda seperti hari-hari biasa.
Kini mereka beralih ke ruang pribadiku, ruang dimana semua
barangku tersimpan dengan rapi. Ruang dimana aku menumpahkan semua rasa sakit
yang kurasa. Rasa sakit yang tak pernah kusebar luaskan pada siapapun juga.
“cantik” gumam seorang wanita berkacamata saat memperhatikan
foto-foto yang terpajang di dinding-dinding ruangan tersebut, yang tak lain
adalah foto diriku sendiri. “kamar ini menunjukkan kalau dia benar-benar
pribadi yang menyenangkan” ucap seseorang yang tengah duduk di atas sofa biru
milikku. Ruangan ini memang khusus di desain dengan corak penuh warna, mulai
dari ranjang dan sprei yang berwarna putih bercorak merah, dinding-dinding yang
berwarna ungu dan pink, sofa berwarna biru dan kelambu dan juga lemari berwarna
putih. Dan berbagai peralatan yang terbuat dari kayu yang sudah pasti berwarna
coklat. Motif-motif pulkadot sangat kental di ruangan ini. bahkan hampir semua
barang disini bermotif pulkadot. Dan banyak pula boneka teddy bear disini,
karna memang aku sangat menggemari boneka itu. “pribadinya sangat berbeda
sekali dengan apa yang kita sering lihat” sambung seorang perempuan yang tengah
memakai kerudung.
<<<<<***>>>>>
“wah si cupu udah dateng tuh” hardik seorang pemuda. Aku
hanya diam dan terus saja melanjutkan langkahku. “udah jangan di ledekin lagi,
nanti si cupunya nangis terus nggak mau sekolah lagi” sambung temannya.
“hahahaha” semuanya memperlihatkan tawanya. Aku hanya menatap sinis pada mereka
semua dan terus melajuakn langkahku menuju sebuah meja dan kursi yang mungkin
hanya mereka sisakan untukku. Sepasang meja dan kursi yang berada di paling
belakang. Tak adasatu katapun yang terucap dari bibir ini, tak ada sedikitpun
rasa untuk membalas semua perlakuan mereka.
Perjalanan pulang menelusuri koridor gedung pun tak selalu
berjalan mulus, melainkan pasti memiliki kendala, entah itu hanya sekedar
hadangan dan cemohan semata. Atau yang lebih parah bisa disebut dengan
penculikan. Mereka membawaku ke tempat yang sangat sepi dan memperlakukanku seperti
seorang budak. Merebut kacamata yang aku pakai. Mereka tau tanpa kacamata itu
aku tak dapat menlihat dengan jelas karena memang mataku ini menderita minus.
Entah berapa kali aku berganti kacamata dalam seminggu, hampir setiap hari aku
membeli kacamata baru karena mereka menginjak kacamata itu, atau melemparnya dn
membuat kaca dari kacamataku pecah.
Tanpa mereka sadari, setiap hari aku juga selalu memakai
soft lens yang sengaja kubawa untuk menggantikan kacamata yang sengaja di rusak
oleh orang-orang yang tak punya perasaan. Namun aku hanya akan memakai alat
pengganti kacamata itu saat semua orang telah meinggalkan tempat ini, dan lebih
tepatnya gedung ini. Tak mau semua orang melihatku dengan pribadi yang lain.
<<<<<***>>>>>
Mereka semua masih asyik dengan barang-barang yang ada di
ruangan pribadi milikku. Mereka membuka isi dari lemariku yang penuh dengan
baju-baju bermotif pulkadot. Memeluk boneka milikku. Dan ada juga yang sengaja
mengambil fotoku. “gue ambil ah, buat kenang-kenangan” ucap seorang wanita yang
memang terlihat childish di antara mereka semua. Mereka semua hanya tersenyum.
“di balik kediamannya tersimpan sejuta rahasia” ucap seorang wanit yang menurutku paling bijak di antara mereka
semua.
Kini mereka semua telah sampai dan berkumpul di sebuah
tempat yang dimana terdapat ratusan gundukan tanah yang berjajar rapi di
samping kanan maupun kiri tempatku berdiri saat ini. Aku mulai mendekati
kerumunan orang-orang itu.
Saat semua orang pergi menjauhi tempat itu, aku mencoba
menerka tulisan yang terlukis di seonggok batu, terukir sebuah nama “CALISTA
ARGALITA”. Ternyata masih seorang pemuda yang masih setia duduk berjongkok
memegang gundukan tersebut. “kenapa kamu pergi di saat aku mulai menyadari
keberadaanmu dan menaruh rasaku untukmu” gumamnya. Ya, kini aku memang telah
pergi untuk selamanya.
THE END