Senin, 01 Oktober 2012

JUDGE (cerpen)



Ruangan ini kini penuh dengan deraian air mata. Yang entah tulus atau tidak mengalir dari pelupuk matanya. Orang-orang ini terlihat begitu meyakinkan saat meneteskan air matanya. Berbeda seperti hari-hari biasa.
Kini mereka beralih ke ruang pribadiku, ruang dimana semua barangku tersimpan dengan rapi. Ruang dimana aku menumpahkan semua rasa sakit yang kurasa. Rasa sakit yang tak pernah kusebar luaskan pada siapapun juga.

“cantik” gumam seorang wanita berkacamata saat memperhatikan foto-foto yang terpajang di dinding-dinding ruangan tersebut, yang tak lain adalah foto diriku sendiri. “kamar ini menunjukkan kalau dia benar-benar pribadi yang menyenangkan” ucap seseorang yang tengah duduk di atas sofa biru milikku. Ruangan ini memang khusus di desain dengan corak penuh warna, mulai dari ranjang dan sprei yang berwarna putih bercorak merah, dinding-dinding yang berwarna ungu dan pink, sofa berwarna biru dan kelambu dan juga lemari berwarna putih. Dan berbagai peralatan yang terbuat dari kayu yang sudah pasti berwarna coklat. Motif-motif pulkadot sangat kental di ruangan ini. bahkan hampir semua barang disini bermotif pulkadot. Dan banyak pula boneka teddy bear disini, karna memang aku sangat menggemari boneka itu. “pribadinya sangat berbeda sekali dengan apa yang kita sering lihat” sambung seorang perempuan yang tengah memakai kerudung.


<<<<<***>>>>>

“wah si cupu udah dateng tuh” hardik seorang pemuda. Aku hanya diam dan terus saja melanjutkan langkahku. “udah jangan di ledekin lagi, nanti si cupunya nangis terus nggak mau sekolah lagi” sambung temannya. “hahahaha” semuanya memperlihatkan tawanya. Aku hanya menatap sinis pada mereka semua dan terus melajuakn langkahku menuju sebuah meja dan kursi yang mungkin hanya mereka sisakan untukku. Sepasang meja dan kursi yang berada di paling belakang. Tak adasatu katapun yang terucap dari bibir ini, tak ada sedikitpun rasa untuk membalas semua perlakuan mereka.

Perjalanan pulang menelusuri koridor gedung pun tak selalu berjalan mulus, melainkan pasti memiliki kendala, entah itu hanya sekedar hadangan dan cemohan semata. Atau yang lebih parah bisa disebut dengan penculikan. Mereka membawaku ke tempat yang sangat sepi dan memperlakukanku seperti seorang budak. Merebut kacamata yang aku pakai. Mereka tau tanpa kacamata itu aku tak dapat menlihat dengan jelas karena memang mataku ini menderita minus. Entah berapa kali aku berganti kacamata dalam seminggu, hampir setiap hari aku membeli kacamata baru karena mereka menginjak kacamata itu, atau melemparnya dn membuat kaca dari kacamataku pecah.
Tanpa mereka sadari, setiap hari aku juga selalu memakai soft lens yang sengaja kubawa untuk menggantikan kacamata yang sengaja di rusak oleh orang-orang yang tak punya perasaan. Namun aku hanya akan memakai alat pengganti kacamata itu saat semua orang telah meinggalkan tempat ini, dan lebih tepatnya gedung ini. Tak mau semua orang melihatku dengan pribadi yang lain.


<<<<<***>>>>>

Mereka semua masih asyik dengan barang-barang yang ada di ruangan pribadi milikku. Mereka membuka isi dari lemariku yang penuh dengan baju-baju bermotif pulkadot. Memeluk boneka milikku. Dan ada juga yang sengaja mengambil fotoku. “gue ambil ah, buat kenang-kenangan” ucap seorang wanita yang memang terlihat childish di antara mereka semua. Mereka semua hanya tersenyum. “di balik kediamannya tersimpan sejuta rahasia” ucap seorang wanit  yang menurutku paling bijak di antara mereka semua.


Kini mereka semua telah sampai dan berkumpul di sebuah tempat yang dimana terdapat ratusan gundukan tanah yang berjajar rapi di samping kanan maupun kiri tempatku berdiri saat ini. Aku mulai mendekati kerumunan orang-orang itu.
Saat semua orang pergi menjauhi tempat itu, aku mencoba menerka tulisan yang terlukis di seonggok batu, terukir sebuah nama “CALISTA ARGALITA”. Ternyata masih seorang pemuda yang masih setia duduk berjongkok memegang gundukan tersebut. “kenapa kamu pergi di saat aku mulai menyadari keberadaanmu dan menaruh rasaku untukmu” gumamnya. Ya, kini aku memang telah pergi untuk selamanya.


THE END